PULOGEBANG – Bolehkah lagu pop rohani dibawakan dalam perayaan ekaristi, terutama dalam misa hari minggu di Gereja? Pertanyaan ini tentu banyak tersirat di dalam benak umat Katolik. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dilihat dalam konstitusi Gereja, Sacrosantum Concilium (SC-konstitusi tentang liturgi suci) tepatnya pada butir ke 112-121. Pada SC, disebutkan bahwa tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyayian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral. Lihat: Sacrosantum Concilium

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Pastor Bernard Boli Ujan SVD, seorang doktor liturgi dari Sant Anselmo, Roma memberikan beberapa pandangan bahwa lagu pop rohani digubah untuk dipakai pada kesempatan non liturgis, sesuai dengan hasrat hati penggubah dan bersifat lebih personal meskipun akhirnya dipakai oleh banyak orang lain, lebih bebas dalam hubungan dengan teks dan kapan saja dipakai tak terlalu terikat pada waktu dan tempat dan tidak perlu minta ijin dari pimpinan Gereja.

“Sebaliknya, lagu liturgi adalah nyanyian yang digubah dengan maksud khusus untuk dipergunakan dalam perayaan liturgi sehingga harus memenuhi keinginan atau tuntutan Gereja agar dapat dipakai oleh seluruh umat dalam perayaan liturgi. Maka teks lagu adalah teks liturgi atau bersumber dari teks liturgi yang umumnya berdasarkan teks-teks biblis.”

Dalam hal ini lagu (yang memenuhi tuntutan kesenian) harus melayani teks dan bukan teks melayani lagu. Teks dan lagu harus sesuai dengan fungsi-tempat-kesempatan dalam tata perayaan liturgi serta semangat khusus dari masa liturgi-pesta/peringatan hari bersangkutan dalam tahun liturgi.

“Setelah digubah sesuai tuntutan-tuntutan itu, teks itu haruslah diberi kepada pimpinan Gereja untuk mendapat pengesahan. Dalam hal ini pimpinan Gereja telah menyerahkan tugas memeriksa dan menilai lagu-lagu itu kepada tim kesenian musik liturgi keuskupan dan KWI yang melaksanakan tugas di wilayah masing-masing. Terakhir seluruhnya akan diberi kepada ahli teologi yang mendapat tugas untuk memberikan “nihil obstat” (teksnya tak mengandung ajaran sesat) sebelum mendapat “imprimatur” (pengesahan) dari uskup atau KWI.”

Pastor Boli Ujan juga mengatakan, lagu-nyanyian yang ada dalam buku-buku nyanyian liturgi dengan nihil obstat dan imprimatur telah dijamin sebagai lagu liturgi. Dan itulah yang seharusnya dipakai dalam perayaan liturgi dan bukan lagu-lagu rohani.

“Dalam misa kategorialpun seharusnya dipakai lagu-lagu yang sudah resmi diterima oleh Gereja sebagai lagu liturgi. Di luar perayaan liturgi bolehlah dipakai lagu-lagu rohani.” (Sumber: katolisitas.org/Penulis: Ferdinand Lamak)