“Romo Frans Doy, Engkau tak kan hilang dalam kenang. Bagaimana Engkau menjadi teman seperjalanan umat dalam meditasi Kitab Suci. Yang sampai sekarang telah mencetak beberapa awam yang handal untuk menjadi pendamping sesama umat. Bagaimana Engkau menjadi teman seperjalanan umat dalam senam sehat jasmani dan rohani. Yang sampai sekarang rekaman audionya masih ada dan dipakai di berbagai kesempatan. Bagaimana Engkau dengan rendah hati, mau rendah hati untuk tinggal di pastoran Wisma Samadi yang menginspirasi terciptanya Wisma Unio Jakarta untuk para imam yang perlu “istirahat sejenak.” Yang sampai hari ini Engkau pergi ke rumah sakit dari sana untuk akhirnya “istirahat selamanya” di Rumah Bapa di Surga. Sudah banyak orang sakit dan terluka yang menjadi sembuh, tenang dan damai karena Engkau. Kini Engkau tidak merasakan sakit lagi, melainkan sembuh total. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan kami dan umat yang sederhana dan setia. Rm. Frans Doy, selamat beristirahat dalam damai.” – Romo Aloysius Susilo Wijoyo, Pr.

Pagi itu, sekira tigapuluhan umat, pagi-pagi sekali sudah hadir di dalam gereja Santo Fransikus Xaverius, Boawae, Nagekeo, Flores, NTT. Dalam misa harian pagi itu, umat juga merayakan pesta pelindung paroki dan gereja mereka, karena 3 Desember menjadi pesta orang kudus, Santo Fransiskus Xaverius. Beberapa jam kemudian, dari Jakarta datang kabar duka yang seketika merebak di kalangan umat paroki itu. Ame (romo atau bapa, dalam bahasa Nagekeo-red) Fransiskus Xaverius Talinau Doy, putera kelahiran Boawae, 3 Januari 1943 itu dipanggil Bapa, tepat satu bulan sebelum ia merayakan ulang tahun kelahirannya yang ke-76 tahun. Bukan sebuah kebetulan, iman Katolik meyakini jika ia telah dijemput oleh Santo Fransiskus Xaverius, santo pelindungnya, menuju rumah Bapa di Surga.

Dan, di Rumah Duka RS. Sint Carolus, tadi malam. Suasana duka yang sejak sehari sebelumnya menyelimuti hati dan wajah para pelayat, lebur dalam sukacita dan syukur. Instrumental Kasih yang Sempurna, mengalun lembut pada malam itu, dari saxophone yang ditiup oleh koleganya, Romo Rochadi, pun meleburkan rasa haru karena ditinggalkan, menjadi kepasrahan total kepada Sang empunya kehidupan. Ya, itu adalah sebuah lagu yang sering dinyanyikan oleh pria yang paling berbahagia malam itu.

Betapa tidak, bukan hanya persembahan instumental khusus dari koleganya, namun ia sungguh menjadi yubilaris, orang yang paling berbahagia pada malam tadi, karena perjalanannya pulang ke rumah bapa, didoakan dalam sebuah ekaristi yang dipimpin langsung oleh Bapa Uskup, Mgr. Ignatius Suharyo sebagai selebran utama didampingi konselebran yang jumlahnya mencapai belasan imam.

——–

Romo Frans Doy, demikian umat di Paroki Pulo Gebang menyapanya adalah seorang pribadi yang sangat dekat dengan umat yang pernah digembalakannya semasa menjadi pastor rekan di paroki ini, 1999-2013. Kecintaan umat kepadanya, demikian pula sebaliknya, dapat terlihat dari masing seringnya ia hadir melayani di beberapa kesempatan di paroki, maupun di kediaman umat.

Kesetiaan dan kerendahan hati romo yang satu ini, dilukiskan dalam berbagai jejak tapak kakinya yang masih terjaga baik dan terus berkembang di paroki ini, sebagaimana diungkapkan oleh Romo Susilo sesaat setelah mendapat kabar berpulangnya Romo Frans Doy.

Kepada media ini, ia mengatakan, “Romo Frans Doy, Engkau tak kan hilang dalam kenang. Bagaimana Engkau menjadi teman seperjalanan umat dalam meditasi Kitab Suci. Yang sampai sekarang telah mencetak beberapa awam yang handal untuk menjadi pendamping sesama umat. Bagaimana Engkau menjadi teman seperjalanan umat dalam senam sehat jasmani dan rohani. Yang sampai sekarang rekaman audionya masih ada dan dipakai di berbagai kesempatan. Bagaimana Engkau dengan rendah hati, mau rendah hati untuk tinggal di pastoran Wisma Samadi yang menginspirasi terciptanya Wisma Unio Jakarta untuk para imam yang perlu “istirahat sejenak.” Yang sampai hari ini Engkau pergi ke rumah sakit dari sana untuk akhirnya “istirahat selamanya” di Rumah Bapa di Surga. Sudah banyak orang sakit dan terluka yang menjadi sembuh, tenang dan damai karena Engkau. Kini Engkau tidak merasakan sakit lagi, melainkan sembuh total. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan kami dan umat yang sederhana dan setia. Rm. Frans Doy, selamat beristirahat dalam damai.”

Perjalanan panjang Romo Frans melayani umat di paroki ini menjadi kebersamaan yang panjang juga antara dirinya dengan sejumlah umat yang telah lama menjadi bagian dari paroki ini. Tidak sedikit kenangan yang berbekas dan menjadi legacy yang indah dari seorang Romo Frans bagi mereka.

Albertus Witjaksono, Wakil Ketua DPH Paroki Pulo Gebang adalah salah satunya. Kepada media ini, ia mengatakan, dirinya pertama kali mengenal Romo Frans sejak beliau ditugaskan oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ., yang kala itu menjadi Uskup KAJ, menjadi pastor rekan di Paroki Pulo Gebang sekitar tahun  tahun 1999. “Kekhasan unik beliau adalah, selalu bersikap baik pada umat, dan selalu berkeinginan melayani seluruh umat, sehingga karena keunikan itu, jadi kadang-kadang lupa kalau sudah berjanji dengan umatnya.”

Pulangnya Romo Frans pun meninggalkan jejak yang terlukis indah di paroki ini. Witjaksono pun menambahkan, “Warna yang diberikan oleh beliau sebagai pastor rekan adalah bisa menempatkan diri bahwa beliau adalah pastor rekan sehingga karenanya kebijakan yang beliau ambil selalu seiring sejalan dengan pastor kepala paroki, siapapun itu pastor kepala parokinya. Dan, yang lebih menjadi warna khas beliau adalah, jika mendengar nama Romo Frans Doy, pasti akan langsung terbersit tentang meditasi dan penyembuhan melalui doa meditasi, dan sekarang di paroki kita hal ini sudah mulai senyap sepoi-sepoi,” ujarnya sambil mengingatkan.

Witjaksono masih sempat bertemu dan berkomunikasi dengan Romo Frans, ketika datang menjenguknya di rumah sakit. Ia bahkan tak tahu sakit apa yang dia derita sehingga harus dirawat. Romo yang humble, rendah hati, ramah dan selalu menyapa baik secara langsung bertemu maupun lewat media komunikasi utamanya ponsel, dan tidak segan untuk memuji umatnya jika umat tersebut menurut pandangan beliau adalah umat yang berusaha untuk menjaga dan mengembangkan paroki itu, hanya berkata ia hanya butuh istirahat karena faktor usia.

Bagi keluarga Witjaksono, ada kenangan, pemberian dari Romo Frans Doy yang hingga detik ini masih terawat dengan baik, yakni rumah ayam berwarna hijau yang ada di pelataran rumah mereka. Romo memberikan itu sebagai kenangan, ketika ia hendak meninggalkan paroki ini.

Lain lagi dengan Michael Anggita, Ketua Lingkungan Santo Paulus, Wilayah 6, Paroki Pulo Gebang. Romo Frans Doy baginya tak ubahnya seperti seorang ayah kandung. Anggit, demikian ia disapa mengaku sekira tiga tahun bekerja mendampingi sang romo dan itu adalah sebuah kehormatan besar baginya dan keluarganya.

“Disaat susah dan sedih, beliau menjadi tempat curahan hati yang dengan rendah hati mau mendengarkan keluh kesah semua umatnya. Disaat gembira beliau juga senantiasa berbagi, dan kembali lagi bukan untuk beliau sendiri atau keluarganya namun beliau bagikan bagi seluruh umatnya terutama yang membutuhkan.”

Masih segar dalam ingatan Anggit, kutipan Injil yang selalu didengungkan Romo Frans, “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma, (Mat: 1-: 8B).”

Berpijak pada kutipan Injil itulah, Romo Frans telah menjadi sosok sebagaimana yang dikenal oleh umat dan para koleganya sesama imam. Romo Frans sanggup merelakan waktunya ditengah malam sampai dini hari, hanya untuk mengunjungi umatnya yang sedang sakit di rumah sakit.

——–

Romo Frans Doy menempuh perjalanan imamatnya dalam sebuah proses yang tidak sama dengan kebanyakan imam lainnya. Ia memulai panggilan hidupnya dengan menjadi katekis awam yang taat, mengajarkan ajaran Kristus kepada sesama hingga akhirnya meretas jalan panggilannya menjadi imam di KAJ.

Bagi para pewarta media, pribadinya sewarna dan secorak dengan adiknya, almarhum Valens G. Doy, wartawan senior KOMPAS sekaligus guru bagi sejumlah jurnalis andal negeri ini, yang sudah lebih dulu menantinya di rumah Bapa. Sosok yang sederhana, penuh senyum dan ringan tangan untuk menolong sesama yang membutuhkan. Sang kakak, Romo Frans Doy sebagaimana testimoni sejumlah imam diosesan KAJ, memiliki kepribadian yang menjadi kenangan indah bagi siapa saja yang mengenalnya dari dekat, terlebih mereka yang merasakan langsung sentuhan tangannya sebagai gembala.

Romo Frans Doy dithabiskan dalam sebuah kemeriahan di Balai Sidang Senayan Jakarta pada 15 Agustus 1986 oleh Alm. Mgr. Leo Soekoto, SJ. Dan, Senin 3 Desember kemarin, ia dijemput oleh santo pelindungnya dalam kemeriahan perayaan Pesta Santo Fransiskus Xaverius. Selamat Pulang Ame…… (Penulis: Ferdinand Lamak, Kontributor: Denny Kus)