Menjelang akhir bulan Mei lalu, penulis bersama keluarga menghadiri acara mengenang 100 hari meninggalnya ibunda dari sahabat isteri saya. Ibadat ini dilakukan dengan doa Rosario bersama umat Lingkungan yang dipimpin oleh seorang prodiakon di wilayah Paroki St. Albertus Harapan Indah. Sebelum ibadat, penulis sempat berbincang dengan salah satu umat yang adalah mantan umat Lingkungan Nathalia Paroki Pulo Gebang. Yohanes demikian nama beliau. Ia menceritakan bahwa ibadat doa Rosario ini merupakan kelanjutan dari ibadat doa Rosario pada malam-malam sebelumnya sepanjang Mei yang didedikasikan sebagai Bulan Maria.

Selidik punya selidik, ternyata ibadat doa Rosario dilingkungan ini dilakukan selama satu bulan penuh. Wah, apa benar, satu bulan penuh? Penulis wajar kaget, wajar juga jika Anda pun kaget. Untuk sebuah lingkungan di perumahan yang cukup moderen seperti ini, tentu kesibukan umatnya pun tinggi dan mungkin sulit untuk menyisihkan waktu setiap malam berdoa. Memang kehadiran umat pastinya fluktuatif namun pada hari penutupan itu, yang hadir sekira 25 orang dari berbagai macam usia.

Usai doa, ketua lingkungan mengumumkan bahwa jumlah fasilitator atau pelayan ibadat yang membawakan doa dan peristiwa-peristiwa berganti-ganti setiap harinya sepanjang Mei itu ada 15 orang.

Pengalaman ini membuat penulis dan isteri pun tak habis berdiskusi sepanjang jalan pulang dan bahkan hingga tiba di rumah. Memang bulan Mei dan Oktober bagi umat Katolik merupakan bulan devosi kepada Bunda Maria, sehingga wajar pada bulan-bulan tersebut atensi dan animo umat untuk hadir dan mengikuti ibadat doa Rosario lingkungan akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendalaman iman seperti masa Adven, Bulan Kitab Suci Nasional atau masa Prapaskah.

Namun, yang biasa terjadi di lingkungan khususnya di Paroki Pulo Gebang, doa Rosario lingkungan biasanya dilakukan minimal seminggu sekali, baik di Mei maupun Oktober. Tetapi ada lingkungan yang merangkaikan doa Rosario dengan Novena Tiga Salam Maria. Penulis sendiri hingga hari ini masih bingung, apa korelasi dan hubungannya Novena yang berarti 9 kali itu dengan ibadat doa Rosario.

Beberapa hari kemudian, penulis bertandang ke rumah Ketua Lingkungan Santo Alfonsus, Ferdinandus Diri Amajari di Wilayah II Paroki Pulo Gebang, untuk mendiskusikan beberapa hal. Lingkungan tersebut lokasi dan letaknya tidak jauh dari Gereja Santo Gabriel. Di atas meja tempat kami berbincang, ada sebuah buku berjudul “Mater Dolorosa.” Penulis mengambil buku tersebut dan melihat dengan seksama, ternyata itu buku doa dan devosi kepada Bunda Maria yang diterbitkan khusus sebagai panduan bagi umat di lingkungan ini.

Penulis pun bertanya, apakah cukup banyak umat yang hadir dalam doa rosario di lingkungan mereka? “Ya sejak rosario diadakan sebulan penuh di Lingkungan Alfonsus, justru kehadiran umat meningkat sangat signifikan. Kalau di periode sebelumnya, pada Mei dan Oktober, Rosario hanya diadakan 9 kali saja, umat yang datang paling tinggi 20 orang. Sekarang malah, bisa tembus sampai 38 orang dan kalau dirata-ratakan, setiap malam sekitar 22-25 orang.”

Kekagetan penulis pun tak dapat disembunyikan. Rupanya sama dengan lingkungan di Paroki Harapan Indah yang dikisahkan di atas. Uniknya lagi, di lingkungan ini setiap Selasa dan Jumat saat dimana didaraskan Peristiwa Sedih, mereka membawakan Rosario Tujuh Dukacita Maria yang menurut Ferdi, sangat mengena dihati umat di lingkungannya. Semua teks dan panduannya dia rangkum dalam buku ‘Mater Dolorosa’ (Bunda Berdukacita – red) itu.

Lantas sejak kapan dan bagaimana Ferdi dapat menggerakkan umat di lingkungan untuk melakukan hal ini?

Ia pun berkata, tidak ada yang luar biasa. “Awalnya saya gugah hati umat dengan mengajak mereka berpikir, mungkinkah dalam 360 hari yang Tuhan berikan kepada kita dalam setahun, kita sisihkan waktu 1,5 jam selama 60 hari untuk Bunda Maria?” kisahnya.

Mulanya banyak umat yang keberatan dengan masalah ketempatan. “Lalu saya katakan kepada mereka, jika keberatan soal ketempatan, silahkan di rumah saya saja. Saya malah sangat bersyukur setiap malam bisa berdoa di rumah saya, akan banyak berkat yang bisa hadir di dalam rumah saya.”

Nah, gugahan ini lantas membuat umat pun mulai sadar. Sejak Oktober 2016 dan Mei 2017, lingkungan ini pun melakukan Rosario sebanyak 15 kali setiap bulannya. Umat mulai bersemangat untuk hadir, apalagi semua diberikan kesempatan untuk menjadi petugas ibadat dan dibimbing langsung oleh ketua lingkungannya.

“Dalam sebuah pertemuan dengan warga lingkungan di September 2017, sambil bakar ikan, saya mengajak warga untuk merencanakan Rosario pada Oktober, bulan berikutnya. Saya tanyakan, apakah mau kembali ke 9 hari saja, tetap dengan 15 hari atau malah mau kita lakukan setiap malam sepanjang bulan? Umat serempak menjawab, kita lakukan sebulan penuh pak, agar semua rumah pun bisa kebagian ketempatan,” kisahnya.

Praktis, sejak Oktober 2017 dan belanjut pada Mei 2018 Rosario di lingkungan ini dilakukan sebulan penuh. Positifnya lagi, umat yang sebelumnya pasif dan tidak berani memimpin doa, kini mulai aktif mengambil bagian mulai dari memimpin doa, membaca kita suci dan renungan harian dari Buku Ziarah Batin. Total dalam sebulan kemarin, ada sekira 20 orang yang mengambil bagian sebagai petugas ibadat Rosario.

Obrolan pun semakin jauh ketika penulis menanyakan, mengapa Ferdi melakukan ini semua? Bukankan waktu pribadinya sebagai ketua lingkungan pun banyak tersita untuk Rosario selama sebulan penuh?

“Keutamaan dari santo pelindung lingkungan kami. Santo Alfonsus Maria de Liguori. Uskup dan pendiri tarekat redemptoris (CsSR) itu adalah seorang yang membela Pujian dan Penghormatan kepada Bunda Maria ketika orang-orang Protestan menolak doa itu. Namanya selalu disebutkan dalam Novena Tiga Salam Maria. Ia aktif menyebarkan doa Salam Ya Ratu dan menulis buku Kemuliaan Maria yang terkenal itu. Nah sebagai umat Katolik yang hendaknya selalu berserah kepada Tuhan melalui Bunda Maria, spritualitas pelindung lingkungan ini menjadi salah satu faktor pencetusnya,” tutur mantan aktivis mahasiswa di PMKAJ (Paroki – Sekarang Pastoral Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta Unit Timur) era 1994-1996 ini juga mengajak umat untuk mendalami tentang santo-santa pelindung mereka masing-masing.

“Apakah ini memberatkan umat? Fakta sudah menjawab bahwa umat justru antusias dan ketika Bulan Maria lewat, mereka justru merindukan saat-saat untuk berkumpul dan berdoa Rosario sebagaimana di bulan Mei dan Oktober. Dan, dalam waktu dekat pengurus akan menyusun rencana untuk doa rosario reguler di bulan-bulan lain selain Mei dan Oktober,” tuturnya.

Berbekal fakta dari kedua peristiwa dan cerita tentang ibadat doa Rosario selama satu bulan penuh yang sudah dilakukan oleh 2 (dua) Lingkungan dalam 2 (dua) Paroki yang berbeda ini, ternyata semuanya sangat bergantung dari niat dan keinginan bukan hanya pemimpin dalam hal ini Seksi Liturgi dan Ketua Lingkungan saja, tapi juga peran serta umat untuk bisa menghadiri dan mengikutinya secara penuh. Kenyataan itu juga membuktikan bahwa ibadat doa Rosario dalam rangka devosi kepada Bunda Maria ternyata bisa dilakukan selama satu bulan pada saat bulan Mei dan Oktober.

Devosi kepada Bunda Maria adalah hal yang membedakan umat Katolik dengan umat Kristen lainnya. Kecintaan kepada Bunda Maria begitu sangat kuat bagi umat Katolik. Apalagi kegiatan ini pada bulan Mei dan Oktober disertai dengan ziarah ke Gua Maria bukan hanya yang ada di Jakarta tetapi juga yang ada diluar Jakarta seperti Gua Maria Bukit Kanada, Serang Banten, Gua Maria Sendang Sono, Gua Mari Cisantana Sawer Rahmat Kuningan atau Gua Maria Lourdes-nya Indonesia yaitu di Poh Sarang, Kediri dan sebagainya.

Mudah-mudahan dengan devosi kepada Bunda Maria melalui aktifitas dan kegiatan doa Rosario serta ziarah, dapat semakin menguatkan iman umat Katolik. Apalagi dengan ibadat doa Rosario di Lingkungan selamat satu bulan penuh. Hanya perlu meyakinkan niat dan semangat saja, tentunya apa yang dilakukan oleh Lingkungan Santo Alfonsus ini, bisa diikuti oleh lingkungan lain di Paroki Pulo Gebang. Tiada yang mustahil bagi Allah, maka segalanya berjalan baik dan lancar. Tuhan memberkati. (Penulis: Naryo / @njozasm), Editor: Ferdinand Lamak)