Ada yang berbeda dalam perayaan ekaristi hari Minggu pada pekan ini. Homili sepanjang misa pada hari raya Penampakan Tuhan (Epifani) ini diisi dengan surat gembala KAJ yang dibawakan sendiri oleh Uskup Kardinal Ignatius Suharyo. Sebagaimana yang terjadi di Gereja Santo Gabriel, umat yang hadir pada misa Minggu petang (5/1/2020) yang dipimpin oleh Romo Alphonsus Setya Gunawan Pr., menyimak dengan serius pesan yang disampaikan oleh Bapa Uskup.

“Kita umat Keuskupan Agung Jakarta memasuki tahun Keadilan Sosial dengan semboyan, Amalkan Pancasila: Kita Adil, Bangsa Sejahtera. Dengan sengaja, Tahun Keadilan Sosial ini kita mulai pada Hari Raya Penampakan Tuhan. Harapannya, ketika kita menjadi pribadi-pribadi yang semakin adil dan ketika bangsa kita semakin sejahtera, wajah Tuhan Sang Kasih, akan semakin nyata.”

Monsiyur Suharyo juga mengajak umat untuk menggali makna Hari Raya Penampakan Tuhan dengan menyimak secara baik kisah Orang Majus dari Timur yang berakhir dengan kata-kata, Mereka pun pulang ke negerinya, lewat jalan lain.

“Secara simbolis, kata-kata itu dapat diartikan secara lain. Siapapun yang benar-benar mengalami penampakan Tuhan, artinya mengalami Kasih dan KerahimanNya, dia tidak akan lagi hanya menapaki jalan hidup yang sama. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan selalu mengubah dan membarui, serta membuahkan sukacita. Ini berlaku baik untuk kita masing-masing, sebagai pribadi, keluarga, paroki maupun keuskupan bahkan gereja semesta,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan Keuskupan Jakarta pun berusaha untuk terus menerus membaharui diri. Kesadaran untuk terus memurnikan dan membarui diri ini, lanjutnya, diungkapkan dengan jelas dalam ajaran gereja (Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja No.8-red), yang berbunyi, “Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan serta terus menerus menjalankan pertobatan dan pembaruan.”

Ajaran gereja yang lain tentang pemurnian dan pembaruan ini pun tertuang dalam Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia No.1 yang berbunyi, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang -orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan orang-orang yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”

Monsiyur juga menyitir ucapan dari Paus Fransiskus tentang pembaruan yang menyebutkan, “Pembaharuan yang kreatif akan muncul ketika kita hidup atas dasar nilai-nilai Injil. Kapanpun kita berusaha kembali kepada sumber dan memulihkan kesegaran asli Injil, jalan-jalan baru muncul, lorong-lorong kreatifitas baru terbuka dengan berbagai bentuk ungkapan, tanda-tanda dan kata-kata yang lebih fasih, dengan makna baru bagi dunia dewasa ini.”

Paus Fransiskus juga dikutip, “Saya lebih menyukai gereja yang memar, terluka dan kotor, karena telah keluar di jalan-jalan, daripada gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri.”

Monsiyur mengutip Paus Fransiskus lagi, “Sukacita dalam mewartakan Yesus Kristus diungkapkan baik dengan kepeduliannya untuk mewartakannya ke wilayah-wilayah yang lebih membutuhkan bantuan, maupun dengan senantiasa bergerak keluar ke daerah-daerah pinggiran dari wilayahnya sendiri atau ke lingkungan sosial budaya yang baru.”

Dinamika pertobatan dan pembaruan di KAJ, telah dirumuskan dalam tiga kata: Semakin beriman, semakin bersaudara dan semakin berbelarasa. Dan tahun ini, umat Katolik di KAJ ingin menghayati dan mewujudkan nilai-nilai sila kelima Pancasila dengan semboyan: Amalkan Pancasila: Kita Adil, Bangsa Sejahtera.

Wujud konkritnya, umat Katolik diajak untuk berani pergi ke wilayah-wilayah pinggiran kepada saudari-saudara yang terpinggirkan, seperti mereka yang tidak memiliki akta kelahiran atau KTP sehingga tidak dapat memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara. Juga mereka yang tidak memiliki rumah, tinggal di jalanan, di bawah jembatan layang atau gerobak-gerobak sampah yang menjadi korban perdagangan manusia.

“Mereka adalah saudari-saudara kita, anak-anak kita yang belum menikmati Keadilan Sosial,” ungkap Monsinyur.

Ia pun mengatakan, KAJ boleh bersyukur karena perutusan untuk pergi ke pinggiran semakin dikembangkan secara kreatif dalam berbagai gerakan belarasa. “Kita yakin sekecil apapun yang kita lakukan, itu adalah sebentuk keterlibatan kita dalam pembaharuan keuskupan kita, dan tanggapan kita terhadap panggilan Tuhan untuk bertumbuh menuju kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup Kristiani.”

Uskup Suharyo juga berpesan, tugas yang tidak boleh terlupakan adalah merawat dan mengembangkan kesadaran akan keadilan iklim. Ini adalah bentuk sikap adil manusia terhadap alam semesta. Tanpa sikap adil terhadap alam semesta, saudari-saudara yang secara sosial ekonomi sudah terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan makin menderita.

“Gerakan kepedulian terhadap lingkungan hidup yang tentu saja berkaitan dengan pemanasan global, perlu terus dilakukan tanpa kenal lelah.”

Monsiyur dalam penutup surat gembalanya menekankan hal ini karena kepedulian terhadap lingkungan hidup memiliki korelasi yang erat dengan keadilan sosial. (Ferdinand Lamak)

LOGO TAHUN KEADILAN SOSIAL 2020