Ibadat Jumat Agung
Jumat Agung 30 Maret 2018 // 18.30 // Rm. Aloysius Susilo, Pr
Jumat Agung bagi kita adalah sebuah hari dimana Yesus menunjukkan cintaNya yang begitu dalam pada kita umat manusia. Bagaimana tidak? Dia mengorbankan hidupNya sendiri dengan mati di kayu salib untuk semua kesalahan yang dituduhkan kepadaNya, yang kita tahu bersama bahwa dosa kitalah yang ditanggungNya.
Jika kita sungguh menghayati Jalan Salib, kita akan dibawa kepada sebuah penghayatan iman bahwa sesungguhnya jika kita sedang mengalami penderitaan hal itu belum seberapa jika dibanding dengan penderitaan yang Yesus alami. Disiksa dengan cambukan yang bertubi-tubi menghujam tubuhNya. Darah mengalir bercampuran dengan keringat membasahi luka-luka yang terdapat dalam tubuhNya. Tidak hanya selesai sampai disitu, kurang lebih 2 Km jalan berliku, berbatu dan menanjak harus Ia lalui sambil memikul salib. Berjalan pelan menahan rasa sakit sekaligus lelah dan sedih tanpa mengeluh dan menghindar, hingga akhirnya sampai di Bukit Golgota dan disalibkan bersama dengan dua orang pendosa di sisi kanan dan kiriNya.
Cerita ini memang sudah tidak asing bagi kita, karena setiap tahun kita memperingati Jumat Agung sebagai hari yang luar biasa. Namun apakah jalan salib Kristus sudah menjadi bahan permenungan tersendiri bagi hidup kita? Berfaedahkah kisah sengsara Yesus Kritus yang setiap kali kita dengarkan dalam kehidupan kita?
Jalan salib terakhir pada hari Jumat Agung berjalan tidak seperti biasanya. Kali ini diiringi dialog – dialog singkat yang menggambarkan suasana saat dimana Yesus memikul salib hingga dimakamkan, belum lagi ditambah dengan iringan instrumentalis yang mebuat hati seperti terenyuh ketika mendengarnya. Sesaat hal-hal tersebut bisa membuat kita melayangkan imajinasi akan betapa tersiksanya Yesus kala itu karena dosa – dosa kita. Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah (2 Kor 5 : 21)
Pada momen Jumat Agung kisah sengsara Yesus atau yang dikenal dengan Passio dibacakan kembali dengan cara dinyanyikan, mengapa demikian? Hal ini dapat kita jawab dengan jawaban sederhana yaitu agar penghayatan terhadap peristiwa penyelamatan yang Yesus lakukan untuk kita dapat kita terima, kita resapi dan kita mengerti dnegan baik, sehingga siksaan yang Dia terima hingga kematianNya di salib bukan hanya menjadi penebusan yang sia-sia karena bebalnya hati kita terhadap dosa.
Lantas mengapakah kisah yang memilukan ini dibacakan berulang-ulang setiap kali Jumat Agung kita peringati? Karena kisah sengsara yang memilukan ini merupakan surat cinta dari Tuhan yang begitu bermaknanya sehingga seperti surat cinta pada umumnya yang akan semakin manis jika kita baca berulang ulang maka hendaknya surat cinta Tuhan ini bisa menjadi suatu yang manis untuk kita kenang dan kita resapi dalam kehidupan kita. Bahwa saking Ia mencintai kita, Ia rela mati menebus kita dengan menderita dan mati di kayu salib.
Panjang dan diulang ulangnya kisah sengsara Yesus, sebenarnya ingin mengatakan : Dia mau wafat menjadi korban cinta untuk kita. Maka hendaknya ketika hari ini kita akan merendahakan diri kita menyembah salib, menghormati salib dan mencium Yesus yang ada di salib, kiranya hal itu jangan hanya menjadi sebuah rutinitas hari raya yang biasa kita lakukan, melainkan di dalam hati kita sungguh sungguh menghayati perjalanan salib itu sendiri sambil berucap “Terimakasih Yesus karena telah menyelamatkan aku.”
Secara singkat, dalam homilinya Romo Susilo menyampaikan bahwa Kristus yang mati di salib telah menjadi korban cintaNya untuk kita. Sungguh sebuah pengorbanan yang tidak tanggung-tanggung. Ketika jatuh, Ia mau bangkit kembali. Ketika banyak perempuan menangisiNya, Ia memberikan penghiburan. Bahkan ketika tergantung di atas salib, Ia memaafkan mereka yang menyiksaNya. Bisakah contoh penderitaan itu menjadi kekuatan tersendiri bagi kita ketika salib hidup kita terasa begitu berat? Bisakah cinta Tuhan yang begitu sempurna kepada kita yang berdosa ini, menjadi contoh sebuah cinta yang bsia kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita?
Mari kita merenungkan.
Selamat Paskah!
Yunita Wardhani