Romo, bruder atau suster sungguh dibutuhkan oleh umat. Sayangnya, benih panggilan dalam diri anak-anak, terkadang berhadapan dengan minimnya dukungan dari keluarga. Mari perkenalkan anak-anak dengan kehidupan para pekerja di ladang Tuhan.

Misa kedua Minggu kemarin (22/4/2018) baru saja usai. Petrus, seorang warga paroki yang tinggal di kawasan Penggilingan bersama isteri dan seorang anak laki-laki,  berdiri di tengah kerumunan umat yang baru saja selesai mengikuti misa. Wajah pria jebolan sebuah seminari di Bogor, Jawa Barat lebih dari 10 tahun silam itu nampak ceria sambil terus menggandeng sang putera yang duduk di bangku SLTP kelas II.

“Ini minggu panggilan sedunia dan semua Gereja Katolik di seluruh dunia hari ini mempromosikan abis kehidupan membiara kan? Cuma, sorry bro, gue rada gagal fokus nih. Anak gue lagi gue perkenalkan dengan hidup seminari, eh dia malah nanya, itu om-om dan tante-tante yang pada megang bunga mawar itu pasangan suami isteri ya pak. Jadi Minggu panggilan itu termasuk juga panggilan untuk menikah kan pak?” ujar Petrus yang didampingi isteri dan putera tertuanya berusia 14 tahun.

“Ya, paradoks sih!”

——

Paradoks memang, ketika umat digugah untuk merelakan putera-puterinya jika memiliki panggilan hidup membiara, namun di sisi yang lain ada potret tentang indahnya sebuah keluarga yang harmonis antara suami isteri dihadirkan pada saat yang sama.

Hal yang sama juga menjadi refleksi panjang dari Sunaryo Madhadi, Ketua Seksi Panggilan Paroki Santo Gabriel Pulo Gebang beberapa pekan silam. Saat itu, Paskah baru saja usai dan ia harus memikirkan bagaimana menghadirkan sesuatu yang baru dan lebih menyentuh anak-anak, terlebih para orang tua tentang panggilan hidup membiara. Ada evaluasi internal terhadap pola yang pernah dilakukan sebelumnya dengan mengundang biarawan-biarawati untuk sharing saat homili.

“Tercetuslah ide untuk menghadirkan drama kecil atau fragmen dan saya konsultasikan dengan Romo Susilo dan Romo Gun, ternyata disetujui dan yang membuat saya juga bersemangat karena romo pun sangat perhatian dengan persiapan kita,” tutur pria yang akrab disapa Naryo sembari mengatakan bahwa dirinya diminta oleh Romo Susilo untuk berkoordinasi dengan Romo Gun karena beliau sudah ada agenda dengan BL KEP.

Usai Paskah, Naryo langsung tancap gas. Meski waktu cukup singkat, dirinya dengan keyakinan yang cukup tinggi dapat mewujudkan rencana itu. Ia lalu mengumpulkan beberapa anak-anak anggota misdinar usia SLTP yang dalam beberapa bulan terakhir cukup intens berkomunikasi dengannya terkait rencana anak-anak ini untuk melanjutkan pendidikan ke seminari menengah. Juga beberapa anak usia SLTA yang mau diajak untuk mengambil peran dalam fragmen itu.

Para pemeran fragmen usai tampil

Chetto Parera, Bintang, Martin, Grace, Nadya, Nathan dan Loddie Lamak adalah beberapa anak yang Naryo libatkan di dalam fragmen itu. Mereka pun dengan sukacita berlatih, sekalipun waktu yang tersedia tidaklah banyak dan para pemeran yang sesuai dengan naskah bikinan Naryo sendiri, belumlah komplit.

“Anak-anak ini bagus, mereka sudah punya dasar ketertarikan untuk masuk ke seminari sehingga mereka makin bersemangat. Latihan pertama, pemainnya belum lengkap tetapi kita jalan saja dengan dukungan petugas koster dan beberapa teman yang membantu. Repotnya justru ketika kita hendak mencari talent untuk memerankan orang tua sesuai skenario, yang berlatar belakang pengusaha keturunan dan enyak babe untuk memerankan keluarga Betawi,” ungkap Naryo.

——– –

Suasana di dalam gereja minggu pagi itu, tampak cukup padat. Umat memenuhi seluruh bangku dan kursi yang disediakan, baik di lantai utama maupun di balkon. Bahkan terlihat beberapa umat yang mengikuti misa dari tangga karena tidak kebagian kursi. Sementara di deretan bangku bagian depan, tepatnya di belakang barisan para prodiakon, 64 pasangan pasutri duduk berdampingan dengan sekuntum mawar di tangan mereka. Selain merayakan hari itu sebagai Minggu Panggilan sedunia, pada misa tersebut dirayakan juga ulang tahun perkawinan dan pembaharuan janji perkawinan.

Usai Romo Gun membawakan bacaan injil, ia membuka homilinya dengan mengatakan bahwa setiap minggu Paskah ke-4, Gereja Katolik sedunia pun merayakannya sebagai Minggu Panggilan. Ia pun menganjak umat untuk menyimak drama kecil yang sudah disiapkan oleh seksi panggilan.

Kembali ke pria yang mengaku gagal fokus di atas, saat itu duduk di deretan bangku tengah sebelah kanan, persis di bawah balkon. Saat romo memersilahkan umat menyaksikan pementasan drama itu, Petrus dan puteranya mengarahkan mata ke pintu sakristi, tempat romo dan misdinar keluar dan masuk saat misa. Tiba-tiba isterinya mencolek tangan Petrus dan menunjuk ke arah 4 orang anak berseragam SLTA yang melintas di samping mereka duduk.

“Jujur saya kaget, rupanya para pemain sejak awal misa itu duduk di bangku belakang kami dan mereka muncul tiba-tiba,” ungkapnya.

Para pemeran Fragmen Minggu Panggilan 2018

Sementara dari sisi sebelah kiri, saat yang bersamaan pun sejumlah anak-anak berseragam SMP yang muncul dari bangku umat dan berjalan menuju ke depan. Mereka bercakap-cakap satu sama lain sepanjang perjalanan itu. Suara dialog mereka terdengar kurang jelas, mungkin karena kendala teknis sound system. Namun, sepintas terdengar mereka saling berceritera tentang rencana mereka melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikut.

Sesaat kemudian, pasangan suami isteri dengan kostum dan aksen Betawi yang kental keluar dari sakristi. Sang enyak membawa panci di tangan, sementara dengan siulan kecil si babe membawa sangkar burung naik ke atas panggung yang tak lain adalah tangga altar. Loddie, pemeran anak SMP yang akan masuk seminari tahun ini pun datang menghampiri enyak dan terjadilah dialog. Ia menyampaikan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke seminari. Dan, brak! suara panci terjatuh di atas lantai membuat semua umat pun kaget. Sang enyak kaget mendengar ucapan Loddie.

Ape? Emang babe lu setuju lu masuk seminari,” ungkap sang ibu di tengah kagetnya mendengar niat sang anak.

Selintas kemudian, sang anak terlihat mendekati babe-nya. Diluar perkiraan umat yang hadir, ternyata niat sang anak direspon positif oleh sang ayah. Bertha dan Yabes Situmorang memerankan enyak dan babe dengan bagus.

Adegan yang berikutnya adalah, Martin yang berperan sebagai anak sulung dari keluarga pengusaha Tionghoa. Sang ayah  diperankan Ignatius Budi sementara ibundanya diperankan oleh Doli. Pada bagian ini, terlihat bagaimana realitas di masyarakat, terutama kalangan pengusaha yang cukup sulit melepaskan anak sulung-nya untuk menjalani hidup panggilan membiara. Keduanya, ayah dan ibu Martin, tampak keberatan jika anak lelaki sulungnya harus menjadi imam, hingga sang ayah pun menelepon Romo Susilo untuk berkonsultasi.

Tampak dari layar yang terpampang didepan, Romo Susilo menerima telepon dari ayah Martin yang meminta pendapat romo karena anak laki-laki tertuanya hendak masuk seminari. Romo pun menjawab sang ayah dengan tenang.

“Kalau menurut saya ni, kalau memang anaknya mau dan berkeinginan yang kuat, barangkali ia terpanggil. Kalau menurut saya sih turuti saja dulu maunya dia apa. Lalu kemudian cari informasi di Seminari Wacana Bhakti, lalu bagaimana cara mendaftarnya, lalu syaratnya apa saja. Ya, disitu juga ada SMA-nya. Kalau nanti lulus dan dia terpanggil, ya dia bisa jadi imam. Tetapi kalau tidak kan dia juga bisa menjadi awam yang baik. Jadi, ya ikutin saja dulu maunya dia pak, ya menurut saya lho ya pak…,” demikian Romo Susilo.

———— –

Adegan diskusi antara keluarga pengusaha dan Romo Susilo tentang niat anaknya yang hendak masuk seminari.

Naryo dalam perbincangan dengan media ini mengatakan, dari sisi pesan yang hendak disampaikan, dirinya sungguh mengangkat realitas yang terjadi di dalam keluarga-keluarga Katolik. Ia hendak menggugah nurani para orang tua ketika mereka mahfum bahwa tuaian sesungguhnya banyak, namun pekerjanya sedikit, jumlah umat terus bertambah namun jumlah anak-anak yang terpanggil untuk menjadi pastor, sangat sedikit. Namun di saat yang bersamaan, tidak banyak orang tua yang merelakan anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke seminari, dengan alasan khawatir sang anak menjadi pastor.

Jika dibandingkan dengan paroki lain, panggilan di Paroki Santo Gabriel Pulo Gebang tergolong rendah. Setahun lalu, paroki ini hanya mengirimkan satu orang anak, yakni Netto Pareira ke Seminari Wacana Bhakti. Tahun ini pun hanya satu yang melamar dan diterima di Seminari Wacana Bhakti, yakni Loddie Lamak yang turut bermain di dalam fragmen ini. Pencapaian yang belum maksimal jika dibandingkan dengan sejumlah paroki lain seperti Bartolomeus, Mikael dan Albertus yang mengirimkan lebih dari 2 anak setiap tahun ke Seminari Wacana Bhakti maupun Stella Maris, Bogor.

Sejumlah umat yang menyaksikan pementasan fragmen ini mengatakan, ini menjadi warna yang lain di paroki ini. Penyampaian pesan melalui seni theater yang lebih terasa menyentuh hati, dibandingkan pola atau cara yang selama ini dilakukan. Apalagi, pesan yang disampaikan pas sekali dengan realitas yang ada di kalangan umat.

“Saya salut dengan anak-anak dan pemain lainnya. Mereka tekun berlatih dan tak sungkan melakukan improvisasi sendiri sehingga bayangkan dari 4 kali misa dimana mereka tampil ini, setiap penampilan mereka selalu ada improvisasi baru yang mereka lakukan di depan umat,” turut Naryo sembari mengatakan, dirinya hanya mempersiapkan mikrofon saja, sementara kostum disiapkan sendiri oleh para pemeran.

Sejumlah umat, selain Petrus, juga mengapresiasi program yang diselenggarakan oleh seksi panggilan ini. Di grup whatsapp DP Pleno Paroki Pulo Gebang, apresiasi datang dari sejumlah pihak terhadap model kampanye panggilan yang ditampilkan itu.

Congrats ya, fragmen panggilan oke banget tadi, lanjutkan dan sukses selalu,” ungkap A. Witjaksono, Wakil Ketua DPH, dilanjutkan dengan sejumlah ucapan selamat dari para pengurus DP Pleno Paroki Santo Gabriel, Pulo Gebang.

Romo Steph, romo tamu yang menyaksikan fragmen ini tatkala memimpin misa disore harinya pun mengatakan kekagumannya melihat sajian drama singkat yang penuh makna dan pesan ini. Ia bahkan mengatakan, belum pernah menyaksikan ini sebelumnya selama ia memimpin misa.

Ya, penampilan yang bagus dan diapresiasi ini semoga membekas dalam benak para orang tua dan anak-anak yang menyaksikan. Tinggal bagaimana para orang tua dapat mencerna dengan baik apa yang disampaikan Romo Gun ketika hendak mentup homili dalam misa itu.

“Jangan sampai kita seperti banyak orang tua yang berdoa, mendoakan anak-anak untuk terpanggil menjadi imam, bruder dan suster, tetapi jangan anak-anak saya.”

Petrus meski sempat kebingungan menjawab pertanyaan sang anak, apakah panggilan yang dimaksudkan adalah hidup membiara ataukah menikah dan berkeluarga, tetapi setidaknya ia cukup tersentuh dengan fragmen itu. Ia pun merasa perlu menyampaikan sesuatu untuk dijadikan bahan pertimbangan para pengurus paroki.

“Ya ini sih usul saja untuk para petinggi di paroki agar momen-momen penting yang jadi tema dunia seperti ini jangan dimasukan dengan tema-tema lain. Apalagi tema panggilan membiara dan ulang tahun perkawinan disatukan dalam misa yang sama, kayaknya enggak pas ya,” ungkap Petrus penuh harap. (Penulis/Editor: Ferdinand Lamak, Foto: Ferdinand Lamak & Naryo)