Laman media sosial yang memuat tulisan dengan judul “Panggil Dia Fitri; Kisah Pemulung dengan Anemia Kronis dan Puteri Sematawayang,” (23/1/2020) ternyata mendapatkan respons yang luar biasa. Keprihatinan dan kepedulian terhadap sosok pemulung yang digambarkan dalam tulisan itu, satu per satu datang, bahkan tidak sedikit yang tergerak ingin membantu. Bagaimana tidak, sang ibu yang saban hari harus bekeliling memulung di seantero Perumahan Pulo Gebang Permai bersama puterinya itu, tengah menderita anemia kronis. Ia bukan warga gereja, namun tinggal di kawasan yang masuk dalam paroki kita.

Tulisan itu lahir mengungkapkan fakta apa adanya. Tidak dilebih-lebihkan, tidak pula mendramatisir sebuah fakta yang sesungguhnya. Ini terlihat dari komentar yang dituliskan oleh sesama warga paroki yang rupanya mengenal juga si ibu dan anak ini, bahkan tak jarang ikut ‘berbagi’ dengan keduanya.

Bak terperangkap dalam sebuah dilema yang tidak gampang, HB darah si ibu pemulung yang kami dapatkan dari test laboratorium pada Selasa, 21 Januari 2020 itu, membuat siapapun tak akan lari dari panggilan hati untuk membantu. Bayangkan, dengan HB 2,2 saja, ia harus berjibaku dengan lemasnya badan akibat kurangnya aliran darah dalam tubuhnya, sekadar untuk mengais di tong-tong sampah warga, mencari karton dan sampah plastik. Ia bahkan pernah mencari barang-barang tersebut di sekitar Gereja Santo Gabriel, tempat dimana saat ini bersemayam Patung Yesus Tunawisma.

Adalah Albertus Bonny Hans dan Valent Parera, dua orang warga gereja yang merespons tulisan itu pada awal tayang. Bonny menanyakan, mengapa tidak disampaikan ke PSE saja agar ibu dan anak itu dibantu. Komentar ini kami respon dengan mengatakan bahwa, hal itu sudah didiskusikan dengan Ketua Lingkungan Agustinus Anton Tri Hariyadi yang pernah berpengalaman dengan umat yang sakit dan butuh pertolongan. Ibu ini oleh Dokter Justus Hardi direkomendasikan untuk segera ditransfusi dengan packed red cell jika ingin dia selamat, namun menurut Anton, tampaknya sulit mendapatkan bantuan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.

Asal tahu saja, ibu ini tidak memiliki KTP. Ia masih tercatat sebagai warga Kabupaten Kebumen Jawa Tengah dari KK lama yang dia miliki. KK itu pun tampaknya sudah tidak berlaku lagi karena tidak update. Jika KTP saja ia tak punya, bagaimana mungkin bicara tentang BPJS?

Bonny tidak putus asa dan langsung mengontak Romo Susilo dan Iwan Darmawan, Ketua PSE menyampaikan perihal ini. Malamnya, langsung kami bertemu di ruang PSE dan menceriterakan kondisi ibu dan anak ini. Pada saat yang sama, Dokter Stella Handayanie, Ketua Lingkungan St. Maria sudah menunggu di Blok H3 untuk bersama-sama hendak melihat kondisi sang ibu di rumah tetangga, tempat dia dan puterinya menumpang.

PSE menurut Iwan Darmawan, akan mengupayakan untuk membantu anaknya dalam bentuk bantuan pendidikan dan bantuan karitatif untuk si ibu pemulung. Hal ini mungkin perlu dibicarakan lebih lanjut di internal PSE karena kasus ini tergolong unik, pada saat dimana KAJ pun tengah menjalankan Tahun Keadilan Sosial.

——– ——–

Kamis, 23 Januari 2020, sekira pukul 21.00, dengan mengendarai sepeda motor, saya dan isteri, Bonny dan puteranya, Dokter Stella dan suami, serta Iwan Darmawan usai rapat sebentar di PSE, kami memasuki lahan garapan di seberang Perumahan Pulo Gebang Permai. Beberapa kali, dari atas sepeda motor kami menyapa sambil permisi pada beberapa kelompok orang yang duduk di sisi kiri kanan jalan, di antara bangunan-bangunan darurat itu. Beberapa diantaranya sudah kami kenal karena kerap juga datang ke rumah kami.

Namanya Dian Agustina dan Fitri, puterinya yang duduk di kelas 2 SD Alfa Omega, sebuah sekolah Kristen yang dibangun diatas lahan garapan untuk anak-anak di kawasan itu.Keduanya duduk di lantai granit, di rumah pasangan Om dan Teteh – demikian orang di sekitar itu menyapa mereka, yang telah menampung keduanya selama Dian menderita sakit.

Fitri duduk di samping ibunya dan tampak seperti menyimak apa yang kami bicarakan. Namun, entah apakah dia benar-benar mengerti kondisi ibunya itu, pandangan kami tak pernah lepas mengamati ekspresi wajahnya. Dalam hati kami membayangkan puteri bungsu kami yang usianya terpaut setahun lebih belia dari Fitri, anak yang bernasib tidak terlalu baik ini. Sepintas kami pun teringat, beberapa kali, larut malam sekira pukul 23.00 hingga 01.00 dinihari, kami masih menemukan ia tertidur dipangkuan ibunya saat keduanya duduk di depan sekolah Caraka Nusantara, atau di simpang pertigaan di dekat kediaman saya. Bagaimana jika puteri kami yang berada pada posisi anak ini?

Iwan Darmawan dan Dokter Stella banyak bertanya kepada Dian yang malam itu, sesekali masih melempar senyum disela bicaranya yang satu-satu. Ia bahkan berulang-ulang mengatakan bahwa dirinya tidak merasakan sakit sama sekali. Ia hanya sering kecapaian dan mengalami pendarahan cukup banyak dan lama. Dokter Stella mungkin lebih memahami secara medis, namun kami yang hadir juga mencoba menyimpulkan, berarti HB yang demikian rendah itu disebabkan oleh pendarahan tadi.

Langkah yang cepat harus dilakukan yakni dengan transfusi sebagaimana rekomendasi Dokter Justus, sehari sebelumnya. Informasi yang kami dapatkan, harga 1 kantong darah (packed red cell) di RS Sint Carolus Rp820.000 dan ibu ini membutuhkan antara 5-10 pack darah jika ingin menyelamatkan dia dari kondisi yang semakin parah. Dalam bayangan saya dan isteri, Tuhan pasti memberikan jalan untuk kami dapat melakukan sesuatu untuk membantu ibu ini, sekalipun kami sendiri tidak dalam kondisi yang berkelimpahan.

Malam itu kami pulang beriringan. Iwan Darmawan terus menerus memberikan support kepada kami untuk tidak patah semangat sambil mengingatkan tentang kemungkinan kontribusi dari PSE untuk membantu pendidikan Fitri dan karitatif untuk Dian, ibunya. Kami berpisah di persimpangan jalan, namun otak kami terus berputar mencari cara bagaimana membantu ibu itu, demi anaknya.

Dengan keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan jalan, kami pun mulai menghubungi teman-teman dekat, menyampaikan kondisi ibu ini. Di whatsapp grup lingkungan dan wilayah pun kami sampaikan dan Puji Tuhan, Sabtu, 25 Januari 2020 sudah mulai terkumpul dana dari para donatur yang cukup untuk menjadi deposit awal bagi proses transfusi ibu ini. Minggu, 26 Januari setelah mendapat kabar dari sepupu yang bertugas di RS Carolus bahwa ada bed di kelas 3 yang kosong, kami pun mengabarkan kepada ibu ini agar bersiap ke rumah sakit. Saya dan isteri saya, ditemani seorang anak muda kenalan kami di lahan garapan, menggunakan mobil milik Anton Tri Hariyadi, berangkat ke RS Sint. Carolus. Dian Agustina pun masuk ke UGD dan kemudian dipindahkan ke ruang Yoseph untuk bersiap mendapatkan transfusi keesokan harinya.

—– ———–

Tuhan itu baik dan sungguh teramat baik. Ia menggerakkan hati banyak orang baik di paroki maupun para pembaca di sebuah media opini tempat dimana saya menjadi salah satu penulisnya, untuk membantu ibu pemulung ini. Pada Selasa petang, kami dikabari bahwa sudah 4 pack darah yang ditransfusikan dan akan bertambah lagi 2 pack dan 2 pack lagi pada dua hari berikutnya. Berkat bantuan dari orang-orang baik diatas, kami pun langsung menambahkan lagi deposit untuk kelanjutan dari transfusi.

Atas ciutan saya di twitter untuk Ganjar Pranowo, Rabu siang, Gubernur Jawa Tengah itu mengirimkan orang-orangnya untuk datang mengecek kondisi ibu itu. Mereka bertemu dengan Humas RS Sint Carolus. Soal bantuan untuk ibu ini, mereka akan berkoordinasi dulu dengan atasan mereka.

Kamis pagi kami dikabari bahwa sang ibu dapat meninggalkan RS Carolus karena HB-nya sudah diangka 9,8. Namun dengan catatan…Dokter memberikan hasil USG yang menyebutkan bahwa rahim ibu ini harus diangkat karena ada miom didalam rahimnya yang sudah menyatu dengan dinding rahim. Jika tidak, akan akan kembali mengalami pendarahan dan HB-nya kembali drop. Sebagai penjamin, saya pun berpikir cepat. Jika ibu ini dipulangkan, ia akan kembali mencari nafkah dengan memulung karena mereka harus terus hidup. Artinya, kecil kemungkinan dia untuk berpikir tentang operasi, apalagi pulang ke kampung untuk mengurusi BPJS-nya.

“Tolong berikan kami waktu, paling lambat sampai petang nanti untuk memutuskan, ibu ini pulang atau tetap di RS,” saya meminta ini melalui sambungan telepon.

Siang itu pihak Pemrov Jawa Tengah datang lagi dan bertemu kami di ruang Humas RS Sint Carolus. Kepada mereka, saya menyampaikan agar ibu ini dibantu agar bisa menjalani operasi. Namun belum ada tanda-tanda bantuan itu datang. Syukur kepada Tuhan, berkatnya ia berikan melalui beberapa orang yang hari itu menyumbang untuk biaya operasi.

Jumat, 31 Januari 2020 tepat pukul 11.00, ia menjalani operasi. Saya dan isteri menunggui hingga operasi selesai pada pukul 13.00. Dokter memanggil kami dan menyampaikan bahwa operasi telah berjalan lancar dan kondisi pasiennya baik. Butuh waktu sekira 1 jam untuk recovery dan kembali ke ruang perawatan dan tepat 1 jam kemudian kami telah berada di ruang perawatan bersama rombongan dari Pemkab Kebumen yang datang menjenguk.

Kami pun kembali ke rumah dengan perasaan penuh sukacita karena etape demi etape yang sulit telah dilewati ibu ini dan ia kini tinggal menunggu saatnya untuk meninggalkan rumah sakit. Dan, Minggu 2 Februari saat sedang mengikuti rapat pleno di GKP, kami dikabari bahwa pasien atas nama Dian Agustina sudah boleh pulang ke rumah petang itu.

Saya dan isteri mencoba menghubungi beberapa tetangganya di seberang sana untuk ikut menjemput namun semua sedang sibuk. Berdua pun berangkat ke RS Carolus dengan Commuter Line, menjemput ibu ini dan mengantarkannya kembali ke rumah Om dan Teteh tempatnya menumpang bersama Fitri, puterinya.

Persisnya, sejumlah Rp46,480,000 dana yang terkumpul dari donasi spontanitas umat dimana Rp10 jutaan berasal dari umat di lingkup Paroki Pulo Gebang antara lain NN dari PSE, NN dari KEP-3, NN dari sebuah lingkungan di Taman Modern, NN dari Taman Modern, Korwil XIII, beberapa donatur dari Lingkungan Mikael, Maria dan Albertus, Agustinus dan Alfonsus – atas permintaan sebagian mereka, kami tidak menyebutnya secara rinci. Selebihnya kami himpun dari orang-orang baik diluar paroki yang tersentuh hatinya.

Berkat campur tangan Tuhan, tidak kendala untuk menyelesaikan semua kewajiban ke rumah sakit atas transfusi, operasi dan perawatan yang ibu ini dapatkan. Bahkan ada tersisa dana donasi yang cukup dipergunakan untuk biaya rawat jalan dan rencana pulang ke kampung guna mengurusi KTP-nya. Selebihnya, jika KTP-nya sudah ada ada beberapa pihak yang hendak membuka tabungan pendidikan untuk Fitri, puteri sematawayang itu.

Terima kasih untuk semuanya yang sudah memberikan atensi dan dukungan untuk karya sosial ini.  Terima kasih kepada Ketua PSE dan kedua romo kita, dimana Romo Susilo sempat memberikan dukungan moril saat berbincang di depan lobi gereja, usai misa Minggu sore, 26 Januari 2020.

Ternyata, tidak perlu jauh kita mencari Yesus Tunawisma. Dia ada di dekat kita, mereka bahkan disekitar kita. (Ferdinand Lamak/Kalingk. St. Alfonsus, Wilayah II)