PULO GEBANG – Revolusi teknlogi digital boleh saja memberangus sebagian besar media cetak, setelah pola membaca manusia diubah dari cetak ke layar telepon pintar, tetapi tragedi itu tidak berlaku untuk majalah yang satu ini. Majalah HIDUP sejak didirikan pertama kali pada 72 tahun silam, hingga kini tetap berdiri dan bertahan dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh penerbit.
Majalah ini merupakan milik dari Keuskupan Agung Jakarta namun menjadi bacaan wajib umat Katolik di seluruh Indonesia, karena cakupan informasinya pun terangkum dari Sabang hingga Merauke. Apalagi seperti kata Pemimpim Umum/Penanggungjawab sekaligus Pemimpin Redaksinya, RD Harry Sulistyo, majalah ini menjadi bacaan tetap para katekis dalam mewartakan ajaran Katolik di berbagai belahan pelosok di Indonesia.
Lantas, sebenarnya bagaimana kisah tentang awal mula lahirnya majalah ini?
Penulis dalam sebuah kesempatan di awal tahun 1996 pernah menanyakan ini kepada mendiang Romo Mangunwijaya Pr., ketika ia bertandang ke Wisma Adi Sucipto, homebase Mahasiswa PMKAJ Unit Timur di bilangan Cipinang, Jakarta Timur. Menurut dia, jika dirunut jauh ke belakang, majalah ini usianya jauh lebih tua dari usia Keuskupan Agung Jakarta sendiri.
Imam yang juga budayawan ini mengatakan bahwa embrio majalah ini adalah lembar informasi mingguan yang diterbitkan oleh Gereja Katedral Jakarta di tahun 1930-an hingga 1940-an. Ketika itu, Vikariat Apostolik Batavia (cikal bakal keuskupan) dipimpin oleh Mgr Pieter Jan Willekens SJ, (23 Juli 1934 – 7 Februari 1950). Nama media sejenis Warta Minggu yang kita kenal sekarang itu adalah Kerkelijk Weekblad yang kemudian berubah namanya menjadi De Kathedral pada tahun 1943.
Mendiang Romo Mangun tidak menceriterakan lebih lanjut secara detail, namun dari sejumlah sumber yang digali penulis, lembar informasi paroki itu pun berganti nama lagi menjadi De Katholieke Week (1947). Hanya berusia setahun, nama itu berubah lagi dan ditetapkan menjadi Katholiek Leven (Kehidupan Katolik). Hampir sepuluh tahun, nama majalah dwibahasa (Indonesia-Belanda) itu dipertahanan.
Tahun 1957, saat Vikaris Apostolik Djakarta dijabat oleh Mgr Adrianus Djajasepoetra SJ (18 Februari 1953 – 3 Januari 1961), namanya diganti menjadi nama Indonesia yakni HIDUP Katolik dengan isi seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, sejak 1970 majalah itu berubah nama lagi menjadi Majalah HIDUP sampai sekarang.
Pada Januari 2016 silam, Majalah HIDUP mendapat penghargaan dari Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia (Leprid) sebagai Majalah Rohani Katolik Pertama, Terlama dan Konsisten Terbit setiap Minggu selama 70 tahun, sejak 5 Januari 1946. Penghargaan diberikan kepada Keuskupan Agung Jakarta sebagai Pemilik Majalah HIDUP dan Redaksi Majalah HIDUP sebagai Pemrakarsa. Penyerahan penghargaan dilakukan oleh Direktur Lembaga Prestasi Indonesia dan Dunia (Leprid), Paulus Pangka SH kepada Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo didampingi oleh Vikjen KAJ Romo Samuel Pangestu dan Pemimpin Redaksi Majalah HIDUP ketika itu, A. Margana bersamaan dengan Perayaan Ulang Tahun ke-70 majalah ini di Aula Katedral Jakarta.
Majalah HIDUP juga memperoleh penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai “Majalah Rohani Terlama dan Berkesinambungan Terbit”.
Sederet prestasi yang diukir oleh majalah ini tak membuatnya ketinggalan dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi. Sedisi cetak, tapi juga bisa membeli versi dijital di sejumlah gerai majalah dijital seperi scenie, mahoni, wayang force dan lainnya. Majalah Hidup juga melayani pembeli dan pelanggan melalui aplikasi livicard. Pembaca juga dapat membaca realtime news dari website majalah ini yang beralamat di www.hidupkatolik.com. (Penulis/Foto: Ferdinand Lamak)