JAKARTA – Minggu, 25 maret 2018 adalah Minggu Palma. Seperti biasa, Aku mengikuti misa sore jam 17.00 wib di gereja St. Gabriel Pulogebang. Misa sore ini dibawakan oleh Romo Susilo. Perarakan daun palma di misa sore tetap dilakukan dengan singkat dan sederhana tentunya dibandingkan dengan perayaan pada waktu misa Minggu pagi jam 08.30 yang aku percaya sangat meriah karena biasanya jam segitu adalah prime time nya misa.
Bertahun-tahun sebagai orang Katolik…Aku dibaptis tahun 1986, berarti sudah 32 tahun…mengikuti perayaan Minggu Palma tidak mempunyai makna apa-apa secara rohani bagiku, selain suatu ritual permulaan untuk masuk ke pekan suci, ya selalu diawali dengan perayaan Minggu Palma. That’s it. No special meaning at all.
Buatku pribadi, perayaan Minggu Palma adalah perarakan simbolis menyambut kedatangan Tuhan Yesus ke Yerusalem…yang diwakili oleh barisan Romo , prodiakon,putra altar dan lektor…disambut oleh barisan umat yang penuh berbaris di kiri kanan sambil melambai-lambaikan daun palma ditangan mereka dan bernyanyi lagu “Yerusalem lihatlah rajaMu” , lalu sambil berjalan memasuki gereja, romo akan memberkati daun-daun palma yang dilambaikan oleh umat dengan percikan air suci dan umat membuat tanda salib ketika terkena percikan air suci. Lalu misa dimulai dengan bacaan khusus tentang kisah sengsara Yesus.
Selesai misa, daun palma kubawa pulang dan kuselipkan dibelakang salib, sampai tahun depan berikutnya. Fokusku hanya pada menyelipkan daun palma yang telah diberkati dan diperciki air suci dibelakang salib yang terpaku di dinding rumahku, rasanya ga afdol kalo habis merayakan minggu palma, pulang gak bawa daun palma baru untuk diselibkan di belakang salib. Sudah tradisiku bertahun-tahun sejak dibaptis. Itu arti perayaan Minggu Palma buat ku pribadi selama 32 tahun menjadi katolik. Aku tidak tahu apa yang dirasakan umat lain ya, mungkin kalau mau jujur, jangan-jangan ada “Aku-Aku” yang lain yang merasakan garing dan datar seperti ini dalam menghayati perayaan Minggu Palma setiap tahunnya. Walahualam, perlu survei khusus kejujuran kayaknya.
32 tahun merasa garing dan datar…akhirnya Tuhan menyentuhku lewat homili yang dibawakan oleh Romo Susilo. Beliau mengawali kotbahnya dengan mengatakan bahwa minggu palma adalah awal dari kisah sengsara Yesus, yang dielu-elukan dan disambut kedatanganNya di Yerusalem sebagai seorang Raja dengan menunggangi keledai. Yang menarik buatku selanjutnya adalah ulasan tentang si “keledai” yang dinaiki Yesus.
Pada masa itu, binatang keledai digunakan orang untuk mengangkut barang-barang atau digunakan sebagai alat transportasi, sangat berguna dalam membantu pekerjaan manusia. Namun disisi lainnya, keledai juga entah apa asal muasalnya, dikenal sebagai binatang yang bodoh alias tulalit. Kita sering mendengar ungkapan : “bodoh seperti keledai” atau “mirip keledai bodohnya” atau “seekor keledaipun (yang sangat bodoh) tidak akan jatuh kelubang yang sama”.
Begini kotbah Romo Susilo tentang si keledai yang nancep di hati dan pikiranku, yang kemudian menjadi permenungan imanku : “Karena keledai itu binatang yang bodoh, mungkin dia merasa Ge Er ( Gede Rasa ), dan berpikir bahwa dia lah yang menjadi pusat perhatian orang banyak tersebut dan dielu-elukan oleh begitu banyak orang yang berkerumun ditepi jalan, Dia tidak pernah berpikir bahwa semua orang tersebut mengelu-ngelukan Yesus yang sedang duduk diatasnya. Karena Yesus yang dianggap sebagai Raja sedang menunggangi dia, tanpa Yesus diatasnya, dia hanyalah seekor keledai biasa si pengangkut beban tanpa keistimewaan apapun seperti keledai-keledai yang lain. Kita pun kadang bersikap seperti keledai tersebut, menjadi Ge Er karena menganggap diri kitalah yang hebat, diri kitalah yang patut mendapat pengakuan dan dikagumi oleh orang lain, kita lupa bahwa tanpa Yesus, tanpa belas kasih Tuhan, kita bukanlah siapa-siapa. Jangan jadi keledai yang bodoh dan ge er-an, jadilah “keledai – keledai Tuhan”…keledai yang selalu membawa Yesus bersama kita dan sadar bahwa tanpa Yesus , kita bukanlah siapa-siapa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi bukan kita yang hebat, tapi Yesus yang bersama kitalah yang luar biasa. Saya pun , Susilo, mau jadi keledainya Tuhan”
Wow…ga perlu sejam menunggu, kalimat-kalimat yang diucapkan Romo Susilo langsung…cuzzzz….jadi siraman rohani buatku. Bener banget, betapa seringnya Aku menjadi si keledai yang bodoh, yang selalu jatuh kelubang yang sama, mengulangi kesalahan yang sama, dengan “kebanggaan diri” yang begitu sering terjadi – semuanya karena aku yang hebat, Aku yang pinter, aku yang berusaha etc – Aku sering lupa bahwa tanpa Tuhan Aku bukanlah siapa-siapa dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Banyak orang secara duniawi lebih ingin menjadi kuda poni yang lebih dikagumi…karena penampilan luarnya yang lebih bagus dan mempesona…. termasuk Aku. Namun Aku mulai merenung dan berpikir , apa salahnya ikut-ikutan Romo Susilo menjadi keledai ya, apalagi menjadi keledainya Tuhan, kedengerannya lebih keren dari menjadi kuda poni.
KalauTuhan Yesus sendiri pun sampai memilih keledai sebagai tunggangannya bukan kuda poni yang lebih bagus atau bahkan bukan pegasus ( kuda paling keren dan cakep dalam klan kuda hehe), pasti ada makna yang sangat dalam yang ingin disampaikan Tuhan Yesus, dan Aku rasa makna itu dapat kutangkap hari ini melalui kotbah Romo Susilo yang entah mengapa kok membahas keledainya bukan daun palmanya. Lucu tapi menggigit banget. Bravo Romo, semoga banyak umat yang disadarkan akan makna rohani yang sangat dalam lewat peristiwa perayaan minggu palma seperti yang Aku alami.
Aku tidak mau menjadi keledai yang bodoh lagi, tapi Aku mau menjadi keledaiMu Tuhan, yang menyadari kelemahan, kekurangan dan keterbatasanku tanpaMu bersamaku, dan biarlah namaMu yang dimuliakan dan di elu-elukan saat aku berjalan dalam hidupku bersamaMu, karena hanya Engkaulah yang mereka lihat Tuhan, bukan Aku. Amin. Itulah doa yang kuucapkan setelah homili.
Akhirnya, Aku bersyukur, bisa lepas dari rasa garing dan datar ku selama 32 tahun mengikuti perayaan Minggu Palma , karena sekarang sudah ada rasanya , Aku bisa menghayati secara iman makna dari peristiwa-peristiwa yang dirayakan dalam misa minggu palma. (Penulis dan Foto: Triesly Wigati, Editor: Ferdinand Lamak)