ALAM SUTERA – Hujan yang turun seharian pada hari Minggu, 28 Januari 2018 bukanlah penghalang bagi para undangan, umat, sahabat, rekan dan keluarga untuk datang ke gereja St. Laurensius Alam Sutera dalam rangka menghadiri dan merayakan panca windu tabisan imamat RD LBS Wiryo Wardoyo (atau lebih ngetop dengan panggilan Romo Wiryo dikalangan umat ). Termasuk Aku, yang hadir menemani ibu Acunawati, salah seorang sahabat lama dari Paroki St. Gabriel Pulogebang yang diundang oleh beliau.

Perayaan HUT imamat diawali dengan misa syukur yang dipimpin oleh  Bapak Uskup Mgr. Ignatius Suharyo – yang juga baru saja merayakan hut imamat ke 42 pada tanggal 26 Januari- pada pukul 17.00 dan berakhir pada pukul 18.30. Usia misa, acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan kasih yang dimulai pada pukul 19.00 di halaman samping gereja yang luas dengan panggung dan tenda besar untuk acara .

Diiringi dengan lagu “Hidup ini adalah kesempatan” Romo Wiryo dan Bapak Uskup beriringan masuk ke tempat acara menuju tempat duduk yang telah disediakan dimeja bundar depan panggung.  Acara dibuka dengan kata sambutan oleh ketua panitia dan ucapan selamat dari Bapak Uskup. Selanjutnya Bapak Uskup dan RomoWiryo bersama-sama memotong tumpeng  yang ditancapkan lilin angka 42 disebelah kanan dan angka 40 disebelah kiri, menandakan ada dua orang yang berulang tahun saat itu.

Tentu saja ulang tahun tanpa potong kue ga afdol yaaa…maka setelah potong tumpeng ada juga peniupan lilin dan pemotongan kue ulang tahun…komplit deh.

Acara selanjutnya adalah makan malam dan ramah tamah, sementara di panggung utama dipertunjukan persembahan lagu, tarian, dan yang paling unik adalah kado persembahan dari keluarga Romo Wiryo, berupa piala besar yang diserahkan oleh keluarga di atas panggung. Piala adalah simbol bahwa Romo Wiryo sampai saat ini masih jadi pemenang dan juara bertahan dalam menjalani panggilan hidupnya. Mantap ya kadonya dan artinya bagus banget karena piala adalah tanda penghargaan atas sebuah prestasi dan kemenangan, simbol kebanggaan keluarga atas apa yang sudah dilakukan Romo Wiryo.

Aku setuju dengan  komen Romo Simon Lilik yang hadir dan berdiri disebelahku yang mengatakan “ini baru namanya pesta rakyat,” konsep pesta rakyat  dalam arti sesungguhnya benar-benar rame sekali oleh undangan yang terdiri dari rekan, teman, sahabat, keluarga dan umat yang hadir dari berbagai paroki, musik yang mengalun di panggung ,makanan berlimpah dari munik restoran…gudegnya mantap uenaknya….aura kehangatan dan keakraban yang dipersatukan oleh cinta untuk Romo Wiryo sangat saya rasakan, bahkan mirip acara reuni karena aku bertemu dengan beberapa imam yang pernah berkarya di paroki St. Gabriel pulogebang diantaranya Romo Rafael yang baru saja pindah.

Terlebih lagi karena sikap Romo Wiryo dan Bapak Uskup sendiri, dengan santai mereka duduk bersama di meja tengah yang disediakan dan terlihat sangat welcome dengan umat dan siapa saja yang menghampiri baik untuk memberikan  ucapan selamat ulang tahun dan foto bareng Romo Wiryo ataupun foto dengan Bapak Uskup.

Disini aku belajar sesuatu dengan melihat sikap yang ditunjukkan oleh Bapak Uskup, dengan  kerendahan hatinya, beliau menyadari bahwa malam ini yang jadi bintang adalah Romo Wiryo bukan sang Uskup ( walaupun beliau juga baru berulang tahun 2 hari yang lalu ) namun semua ucapan selamat dan hadiah malam ini adalah milik sang bintang. Semua datang untuk bertemu Romo Wiryo yang berulang tahun imamat ke 40 bukan untuk bertemu bapak Uskup, kulihat beliau dengan sabar duduk manis, menikmati hidangan, membiarkan semua orang berkerumun dan berebut menyalami sang bintang ( yang duduk semeja ) dan dengan ramah tersenyum saat kadang ada umat yang mengajak beliau foto bareng (bukan memberi selamat hut ke 42 tapi ngajak moto bareng mumpung ada Bapak Uskup). Sikap rendah hati dari seorang pemimpin yang luar biasa yang patut diteladani oleh kita semua. Keseluruhan acara berakhir sekitar pukul 21.30, gerimis yang turun tanpa henti benar-benar tidak terasa dan terabaikan oleh kegembiraan dan suka cita perayaan.

Sosok yang bernama lengkap RD LBS Wiryo Wardoyo, yang lahir di Jogja pada tanggal 26 Agustus 1945 dan ditabiskan di Gereja Katedral Jakarta pada tanggal 25 januari 1978. Ia pernah berkarya di Paroki St. Gabriel Pulogebang sebagai Pastor Kepala dari tahun 1999 – 2004 dan sempat memperingati ¼ abad imamatnya ketika sedang berkarya di paroki ini. Saat ini beliau ditugaskan  di paroki St. Laurensius Alam Sutera dari tahun 2015 hingga sekarang dan salah seorang sahabat beliau, yaitu Romo Susilo Wijoyo Pr yang sekarang melanjutkan karya beliau di paroki St Gabriel Pulogebang juga  hadir dalam perayaan HUT ke 40 bersama rombongan umat St. Gabriel lainnya.

Penziarahan Romo Wiryo sebagai imam ( 1978 – 2018 ) tertulis lengkap dalam buku kenangan yang dibuat panitia dan dibagikan kepada undangan yang datang. Cerita mengenai perjalanan, kisah, pergumulan, suka duka yang  beliau alami dalam kurun waktu 40 tahun dan telah berhasil beliau lewati sebagai pemenang dengan bertahan pada jubahnya untuk tetap setia serta patuh dikemas dengan sangat apik, sistimatik dan tulisan yang bagus.

Dalam buku kenangan tersebut, ada tulisan tentang sosok Romo Wiryo dimata rekan imam, dimata keluarga dan dimata teman….hmmm kok kurang lengkap ya? Rasanya ini bagianku untuk melengkapi sosok Romo Wiryo dimata umat. Karena aku adalah salah satu umat paroki St. Gabriel Pulogebang yang pertama kali mengenal beliau saat aku menjadi ketua lingkungan yang baru dibentuk dimasa beliau berkarya di paroki St. Gabriel pada tahun 2000. Aku bukanlah teman, sahabat, rekan ..hanya mantan umat ( kalo istilah itu ada ) yang notabene secara pribadi aku tidak mengenal beliau dari dekat.

Namun selama 4 tahun mengenal dan meminta bantuan beliau dalam tugas melayani umat, aku sudah bisa menulis tentang beliau dimata umat karena sosok Romo Wiryo adalah sosok yang gampang dibaca karakternya dengan jelas tanpa perlu mengenalnya lebih dekat. Beliau sangat humanis, rendah hati, apa adanya , sangat otentik, spontan dan pribadi yang sangat menghargai orang lain bukan karena ada apanya tapi sebagaimana adanya. Beliau adalah romo yang paling “Ga Jaim”,  tidak pernah membawa jubahnya dalam berelasi dengan umat,beliau tampil sebagai pribadi yang bernama Bambang Wiryo yang kebetulan harus berjubah dalam melakukan tugas dari pekerjaan yang telah dipilihnya.

Keyakinan yang beliau tulis sebagai tag line dalam buku kenangan panca windu tahbisan imamat yang aku baca adalah : “aku bukan orang yang terbaik , tapi aku dipilih” menurutku itu mewakili “Romo Wiryo banget”  , sebuah ungkapan yang rendah hati , jujur dan penuh kesadaran serta rasa syukur karena Tuhan Telah memilih beliau sebagai pekerja di ladang Tuhan meskipun beliau bukan yang terbaik. Tuhan memilih karena Tuhan percaya, dan Romo Wiryo memang layak dapat piala karena telah mampu bertahan , patuh dan setia selama 40 tahun.

Seluruh umat Paroki St Gabriel mengucapkan Proficiat dan selamat hari ulang tahun imamat yang ke 42 untuk Bapak Uskup Mgr. Ign. Suharyo. Proficiat dan selamat ulang tahun imamat yang ke 40 untuk Romo Bambang Wiryo dan…semoga selalu diberi kesehatan dan berkat dalam melakukan tugas panggilannya….40 tahun imamat? Wow Keren…tetap bertahan, patuh dan setia ya Mo…Berkah Dalem. 

(Penulisdan Foto: Triesly Wigati / Limut, Editor: Ferdinand Lamak)